Ketika Keraguan Datang

Matius 27:27-44

Ketika vonis telah dijatuhkan. Tuhan Yesus diserahkan kepada para prajurit–dan mereka memperlakukan Dia sekehendak hati mereka–apapun yang dibisikkan Si Iblis di dalam pikiran prajurit-prajurit itu untuk menyakiti Tuhan Yesus, tidak ada yang menghalangi. Bapa menyerahkan AnakNya ke tangan orang-orang berdosa; para prajurit yang keras, yang terbiasa melakukan kekejaman.

Para prajurit itu mengolok-olok Tuhan Yesus: mengenakan jubah ungu kepadaNya, membuat makhota duri yang ditaruh di kepalaNya, memberikan sebatang buluh di tangan kananNya. Mereka pura2 brtlutut, mengolok-olok, meludahi, dan memukul kepalaNya yang bermakhota duri itu dengan buluh.

Yesaya 53:7 menubuatkan peristiwa itu: “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” Di tengah semua kekejaman dan hinaan yang dialamiNya, Tuhan Yesus diam, tidak membuka mulutNya.

Lalu para prajurit itu membawa Tuhan Yesus ke luar kota untuk disalibkan. Mereka berjumpa dengan Simon dari Kirene, yang mereka paksa utuk memikul salib Yesus. Sampai di Golgota, Tuhan Yesus siberi minum anggur bercampur empedu–ramuan yang berfungsi sebagai pereda sakit–Tuhan Yesus menolak. Ia hendak menanggung penderitaan itu dengan seluruh kesadaranNya.

“Sesudah menyalibkan Dia” (ayat 35). Kalimat yang sangat singkat untuk mewakili proses yang sangat menyakitkan bagi Tuhan Yesus. Bagi para prajurit, ini adalah business as usual–hal yang biasa dan rutin bagi mereka untuk melaksanakan hukuman atas seseorang. Setelah menyalibkan, membagi pakaiannya dengan undi, lalu duduk di situ untuk berjaga. Rutin. Bussiness as usual.

Orang-orang yang lewat di sana menghujat Dia sambil menggelengkan kepala. Mulut mereka menjadi corong Si Iblis dengan olokan: “Kalau Engkau Anak Allah …”. Demikian pula imam-imam kepala bersama ahli-ahli Taurat dan tua-tua mengolok-olok Dia: “Ia manaruh harapan-Nya kepada Allah; biarlah Allah menyelamatkan DIa, jikalau Allah berkenan kepada-Nya”. Bahkan, para penyamun yang disalibkan bersama-sama Dia juga turut mencelaNya.

Salah satu pergumulan terbesar adalah: ketika Tuhan mengijinkan janji-Nya yang saya pegang/yakini untuk seakan-akan tidak digenapi. Ketika orang lain mengatakan: Mana buktinya imanmu? Semua cuma omong kosong! Janji Allah apa? Prett!!!

Hinaan atau kecaman itu tidak hanya menyakiti hati, tetapi terlebih lagi membuat saya bertanya-tanya apakah benar apa yang saya yakini selama ini? Muncul keraguan dalam diri saya tentang apa yang selama ini saya pegang sebagai janji Tuhan. Mungkinkah Tuhan menjerumuskan? Apakah Tuhan sengaja membiarkan saya salah mengerti?

Yang pasti, Tuhan tidak pernah salah. Janji-Nya tidak pernah gugur. Pasti akan digenapi. Waktu dan bentuk penggenapan janji itu, hanya Tuhan yang tahu dan menentukan. Saya tidak bisa mengharuskan Tuhan menggenapi janjiNya pada saat ini dengan cara atau bentuk seperti ini. Karena saya bisa salah.

Apa yang seharusnya saya lakukan? Memegang janji Tuhan, tidak meragukannya, tetapi terus meminta peneguhan dari Tuhan. Tidak menjadi putus asa, tidak kehilangan harapan, terus berharap kepada kesetiaan Tuhan. Saya percaya bahwa janji-Mu itu teguh dan pasti akan Kaugenapi. Sekalipun saat ini situasi sepertinya sama sekali bertolak belakang.

Menyerahkan kepada Tuhan cara bagaimana Ia akan menggenapi janjiNya. Tidak membuat rancangan sendiri, tetapi menyerah kepada pimpinan Tuhan. Meminta bimbingan dan pimpinanNya, ke mana harus pergi dan apa yang harus dilakukan. Meletakkan semua pengharapan kepada hal-hal di luar Tuhan, tetapi membawa segala sesuatu, pikiran, ide kepada Tuhan.

Views: 21

This entry was posted in Matius, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *