Acara pemakaman yang menyayat hati itu diliput oleh semua media massa Australia. Berulang-ulang, gambar keluarga dan teman-teman yang menangisi kepergian ke-5 remaja itu ditayangkan oleh setiap stasiun televisi.
Di dalam kebaktian pemakaman tersebut, banyak orang maju ke mimbar untuk mengatakan kalimat-kalimat penghiburan. Kebanyakan dari mereka menceritakan kenangan manis yang mereka miliki selama ke-5 remaja itu masih hidup. Mereka menyebutkan betapa anak-anak itu adalah pribadi yang menyenangkan, berwatak baik, dan sebagainya. Tak ada satupun orang yang berkomentar buruk atau yang menceritakan pengalaman yang tak menyenangkan bersama anak-anak remaja tersebut.
***
Hercule Poirot—tokoh detektif dalam novel Agatha Christie—pernah berkata: ”Aku ingin ketemu dengan seseorang yang belum tahu bahwa si korban sudah meninggal”. Ketika ditanya mengapa, Poirot menjawab: ”Untuk mengetahui kebenaran. Sebab, biasanya orang hanya mengatakan hal-hal yang baik tentang seseorang yang sudah meninggal.”
Komentar itu ada benarnya. Kita cenderung untuk mengingat hanya hal-hal yang baik dari kenalan atau keluarga yang telah meninggal. Kita berusaha “memaafkan” dan melupakan pengalaman buruk atau kenangan pahit bersama orang itu, dan mengabadikan peristiwa yang menyenangkan dengannya.
Tanpa sadar, kita pun melakukannya kepada orang yang mungkin sangat jahat kepada kita ketika dia masih hidup. Kita akan berkata: ”Dia tidak seluruhnya jahat. Ada banyak hal-hal yang baik di dalam dirinya.” Padahal, semasa dia hidup, kita tidak mampu mengeluarkan satu pun komentar positif tentangnya.
Mengapa kita baru bisa menghargai sesuatu atau seseorang ketika sesuatu atau seseorang itu sudah tidak ada lagi? Mengapa kita baru bisa melihat kebaikan seseorang atau sesuatu setelah kita kehilangan mereka?
***
Saya sangat suka membaca. Kalau saja mungkin (dan kadang-kadang saya lakukan juga), saya ingin menghabiskan satu hari penuh untuk tinggal di tempat yang tenang dan membaca—hanya membaca. Ketika masih di Solo, beberapa kali saya ditegur Rut: ”Kalau anak-anak masih bangun, mbok jangan membaca. Mainlah bersama mereka. Kamu bisa membaca nanti kalau mereka sudah tidur.”
Saya diingatkan bahwa mereka, anak-anak saya, hanya sebentar saja akan bersama-sama dengan saya. Ketika mereka menginjak usia SMP atau SMA, mungkin mereka sudah malu dan malas untuk bermain bersama saya—mereka akan sudah punya dunia sendiri. Dan itu tinggal beberapa tahun lagi.
Ketika saya masih tinggal bersama-sama mereka, kadang saya kurang menghargai waktu untuk menemani mereka; karena saya sibuk dengan pekerjaan atau asyik dengan hobby saya sendiri. Sekarang, setelah terpisah cukup lama; baru terasa betapa berharganya waktu-waktu itu. Kadang saya ”menyesali” keterpisahan saya dengan mereka: tidak bisa mendengar kata pertama yang terucap, tidak bisa melihat gigi pertama tumbuh, tidak bisa menyaksikan jatuh bangunnya ketika belajar berjalan.
Rasul Yohanes pernah menulis: “Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia” (Yohanes 1:16). Alkitab versi NIV mencatatnya demikian: ”From the fullness of His grace we have all received one blessing after another.” Nabi Yeremia berkata: “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya; selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu” (Ratapan 3:22-23).
Mumpung masih bisa menikmatinya setiap hari, mari belajar untuk menghargai setiap kebaikan dan berkat yang kita terima.
Udara segar pagi yang memenuhi paru-paru kita. Tubuh yang sehat untuk menyapu lantai toko atau berjalan mengantar pamplet. Mobil yang langsung menyala ketika kunci kita putar. Rumah yang melindungi kita dari panas dan hujan. Bau nasi hangat di pagi hari. Aroma kopi panas di meja makan. Celoteh anak-anak yang bermain. Waktu mengobrol dengan pasangan hidup. Saat tertawa bersama teman-teman dekat.
All of them–no matter how small or simple–are the most precious blessings. Never take them for granted. Hargai semua itu, bersyukurlah untuknya setiap hari. Jangan menunggu sampai kita kehilangan, untuk kita baru bisa menghargainya. Jangan sampai terlambat.
Views: 9