Rumah Duka

Hari Jumat lalu, saya pergi ke rumah duka. Ibu dari salah seorang teman meninggal, maka saya bersama beberapa kawan melayat ke sana. Ini adalah pengalaman pertama melayat di Australia. Beda sekali dengan suasana upacara pemakaman di Indonesia.

Salah satu perbedaan yang menyolok adalah dalam hal pidato sambutan yang dilakukan. Di Indonesia, yang mengucapkan pidato sambutan adalah pak RT, pak Lurah, atasan di kantor, dan sebagainya. Isi pidatonya pun klise, itu-itu saja, dan sama tidak mempunya sentuhan pribadi. Maklum, yang berpidato mungkin tidak pernah mengenal orang yang meninggal.

Yang saya dengar hari ini, beberapa anggota keluarga membagikan perjalanan hidup almarhumah. Mereka menceritakan pengalaman mereka bersamanya dan bagaimana almarhumah telah menyentuh serta mempengaruhi hidup mereka. Begitu personal dan tidak “resmi” sama sekali.

***

Raja Salomo pernah menuliskan: “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya” (Pengkhotbah 7:3). Saya jadi ingat kalimat yang sering diucapkan oleh Gembala di gereja saya: “Yang penting bukan start-nya, tetapi finish-nya.”

Di dalam Alkitab, dicatat ada dua pribadi yang berani berkata bahwa mereka sudah mencapai tujuan akhir ketika mereka meninggal. Pertama, Tuhan Yesus sendiri. Ketika tergantung di atas kayu salib, Ia berkata “Sudah selesai!” (Yohanes 19:30). Kedua, Rasul Paulus yang berkata: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2 Timotius 4:7).

Ketika Tuhan Yesus memulai pelayananNya, Ia sudah jelas mengetahui tujuan hidupNya, yaitu: mati di atas kayu salib sebagai tebusan bagi dosa kita. Dan di dalam perjalanan menuju Golgota itu, selama 3 tahun penuh Ia mengisi kehidupanNya dengan kegiatan yang ditetapkan oleh BapaNya.

Seluruh kehidupanNya terangkum di dalam ayat-ayat ini:

“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:18,19).

Ketika Dia menghembuskan nafas terakhirnya di kayu salib, kita tahu, bahwa setiap tujuan yang dinubuatkan di dalam ayat-ayat itu telah dilakukanNya. Maka, Tuhan Yesus bisa dengan tegas mengatakan “Sudah selesai!”.

Demikian pula Rasul Paulus. Pada saat ia bertobat, Tuhan telah menyatakan dengan jelas apa tujuan Tuhan bagi hidupnya: menjadi pelayan dan saksi Tuhan Yesus yang diutus kepada bangsa-bangsa untuk memberitakan Injil sehingga bangsa-bangsa berbalik kepada Tuhan (Kisah Rasul 26:16-18).

Kita tahu, Alkitab mencatat sepak terjang Rasul Paulus di dalam melakukan rencana Tuhan ini. Dan siapapun mengakui bahwa ia telah melakukan semua yang diinginkan Tuhan atasnya. Paulus pantas untuk berkata bahwa ia sudah menyelesaikan pertandingan dengan baik, dan tinggal menerima hadiahnya.

***

Setiap kali saya pergi ke rumah duka, selalu saja pertanyaan ini muncul: Pada hari penguburan saya, apakah yang akan dikatakan orang tentang hidup saya? Apakah keluarga, teman-teman, dan siapapun yang mengenal saya bisa mengatakan hal-hal yang baik tentang saya?

Namun, sebenarnya ada hal yang lebih penting untuk saya tanyakan: Pada hari saya dipanggil pulang, apakah yang akan dikatakan Tuhan tentang saya? Apakah saya sudah melewati garis akhir? Apakah saya sudah mencapai tujuanNya bagi saya?

Kerinduan saya adalah, ketika saya pulang ke dalam kekekalan, Bapa saya akan berkata: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia … Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu”.

Views: 7

This entry was posted in Observasi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *