Saya dilahirkan 35 tahun yang lalu, anak ke-2 dari 5 bersaudara. Kami tinggal di Karanganyar, sebuah kota kabupaten 15 km dari kota Solo, Jawa Tengah. Keluarga kami bukan keluarga Kristen. Ketika saya berusia 6 tahun, saya dan kakak saya mulai diajak untuk pergi ke Sekolah Minggu, yang bertempat di sebuah SD di belakang rumah kami. Dari minggu ke minggu kami terus datang.
Orangtua saya sering mendengar nyanyian dari Sekolah Minggu itu, dan menjadi tertarik dengan Kekristenan. Kemudian, mereka mulai dibina oleh majelis Gereja Kristen Jawa (GKJ ) Karanganyar, dan memutuskan untuk mau dibabtis. Kami sekeluarga dibabtis pada hari yang sama. Hanya saja, saya sama sekali tidak tahu apa arti babtisan itu. Pokoknya asal ikut saja. Saya masih belum mengenal Tuhan.
Mulai Mencari Tuhan
Ketika saya duduk di kelas 2 SD, kami harus pindah ke kota Solo. Saya pindah ke sekolah yang baru. Kami kemudian mengikuti Sekolah Minggu yang diadakan oleh Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton–sebab ini adalah gereja yang paling dekat dari rumah, hanya 5-10 menit jalan kaki. Di Sekolah Minggu ini, rasa ingin tahu saya tentang Tuhan mulai timbul. Saya sangat suka mendengar cerita-cerita Alkitab.
Waktu saya kelas 4, saya mendapat hadiah uang karena meraih suatu kejuaraan. Saya minta ibu mengantar saya ke Toko Buku “Sion” untuk membeli sebuah Alkitab. My very first Bible. Saya mulai membacanya setiap hari. Saya suka cerita-cerita di dalamnya, terutama cerita-cerita peperangan. Saya melompati kitab-kitab yang sulit dan “membosankan”. Saya juga suka membaca cerita tentang mujizat yang dilakukan Tuhan Yesus di dalam ke-4 Injil.
Tetapi, anehnya, yang paling saya sering saya baca adalah kitab Wahyu, terutama di bagian akhir zaman, yaitu ketika Tuhan menimpakan ke-7 tulah (bencana) ke atas bumi. Perasaan saya campur aduk tiap kali membaca bagian tersebut. Ada rasa ingin tahu, namun yang paling besar adalah rasa takut. Saya takut kalau harus mengalami semua bencana itu, saya takut bahwa saya tidak termasuk orang beriman sehingga harus dihukum, saya takut masuk neraka.
Selain itu, sejak saya SD, saya sangat takut kepada kematian. Saya takut mati. Dari SD sampai SMA, saya sering sulit sekali untuk tidur. Kadang sampai jam 2 atau jam 3 pagi baru bisa tidur–karena saya takut mati dan takut masuk neraka. Saya juga takut kepada setan. Kalau malam-malam harus disuruh keluar rumah atau kalau ke kamar mandi, saya akan nyanyi keras-keras untuk menutupi ketakutan saya.
Saya bukan anak “nakal”, dalam arti, saya biasa-biasa saja. Nggak pernah berkelahi, tidak pernah dihukum di sekolah, tidak pernah melakukan kegiatan yang destructive. Bukankah, itu definisi “kenakalan”? Selama tidak melakukan hal-hal yang merugikan, maka saya dianggap sebagai anak baik-baik. Namun, saya tahu, bahwa sebenarnya saya bukan anak baik-baik. Begitu banyak kejahatan yang saya lakukan dengan tersembunyi. Mencuri uang ibu untuk menyewa/membeli komik atau jajan/nonton bioskop. Berbohong, menyimpan pikiran-pikiran yang kotor, dan semua kejahatan “rahasia” yang lain.
Di satu sisi, saya sangat suka kepada hal-hal rohani; tertarik kepada hal-hal rohani. Namun di sisi lain, saya terus-menerus melakukan dosa, dan tidak bisa berhenti darinya. Kondisi yang “mendua” ini menyiksa hati saya. Terus menggelisahkan saya. Dalam hati, saya tahu betul bahwa saya orang berdosa. Namun, saya tidak tahu bagaimana bisa lepas dari kondisi ini. Alkitab yang saya baca, khotbah yang saya dengar di Gereja–tidak ada satupun yang memberi penjelasan tentang apa yang harus saya lakukan.
Second Contact
Tahun 1986, saya masuk ke SMA Negeri 1, salah satu SMA favorit di kota Solo. Di kelas 1, saya mulai diperkenalkan dengan PSK (Persekutuan Siswa Kristen). Pada saat Penataran P4, pada waktu jam ibadah, ada kakak-kakak dari PSK yang menjelaskan berita Injil kepada kami.
Di akhir penjelasan itu, kami ditantang untuk menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat pribadi. Waktu tantangan itu, saya melirik ke kanan dan ke kiri. Karena teman-teman saya mengangkat tangan, maka saya pun ikut-ikutan mengangkat tangan. Padahal saya tidak tahu sama sekali apa maksudnya. Saya pikir, kalau saya tidak angkat tangan, maka teman-teman saya akan menilai saya sebagai anak yang tidak “rohani”.
Akibat dari tindakan mengangkat tangan itu, saya kemudian ditemui oleh salah seorang kakak kelas. Dia mengajak saya dan seorang teman yang lain untuk ketemu sepulang sekolah. Dalam pertemuan itu, saya ditanya lagi apakah saya sudah terima Tuhan Yesus. Karena malu dan takut, saya jawab saja “Sudah”, walaupun sebenarnya saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan menerima Tuhan Yesus.
Saya lalu ditawari untuk ikut KPA (Kelompok Penyelidikan Alkitab). Kami ketemu seminggu sekali setiap pulang sekolah. Karena memang pada dasarnya saya suka hal-hal yang berbau rohani, saya ikut KPA itu. Saya rajin mengisi bahan,jago menghafal ayat, dan selalu datang di tiap pertemuan. Karena saya adalah anggota yang rajin, maka waktu naik ke kelas 2 saya mulai dilibatkan dalam acara PSK–main gitar untuk mengiringi pujian dan kadang menjadi pemimpin pujian.
Dari luar, hidup saya sepertinya ideal. Anak baik-baik, tidak nakal, rajin dalam kegiatan rohani, dan aktif melakukan pelayanan. Namun, sebenarnya hidup saya masih sama saja. Saya masih terus melakukan dosa-dosa “rahasia”, saya masih terus takut dengan kematian, saya masih sulit tidur karena takut neraka. Semakin banyak pengetahuan Alkitab yang saya dapat, semakin takut dan putus asa hati saya, sebab saya tahu saya tidak bisa memenuhi standar Firman Tuhan, dan pasti saya akan dihukum oleh Tuhan karena dosa-dosa saya.
Ditangkap oleh Tuhan
Tahun 1988, saya duduk di kelas 2. Dalam sebuah acara PSK, mas Gunawan Sri Haryono kembali menjelaskan tentang Injil. Isinya sama persis dengan apa yang pernah saya dengar waktu di kelas 1, yaitu:
Semua manusia berdosa (Roma 3:23) dan hukuman dosa ialah maut (Roma 6:23), maka manusia berusaha untuk menghindari hukuman ini dan mendapat keselamatan, tetapi usaha itu sia-sia (Efesus 2:8,9).
Oleh karena manusia tidak bisa menyelamatkan diri, maka Allah yang bertindak mendatangi manusia. Karena kasihNya, Ia memberikan AnakNya yang tunggal (Yohanes 3:16). Untuk menggantikan manusia dalam menanggung hukuman dosa, Tuhan Yesus harus mati di atas kayu salib dan dikuburkan; namun pada hari ke-3 bangkit lagi untuk menyatakan kemenangan atas dosa (1 Petrus 3:18). Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan untuk kembali kepada Tuhan (Yohanes 14:6).
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup (Yohanes 5:24)
Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya (Yohanes 1:12)
Walaupun saya sudah pernah berkali-kali mendengar berita Injil ini, namun malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya dengan jelas mengerti apa maksudnya. Seolah-olah tabir yang selama ini menutupi pengertian saya menjadi terbuka. Saya menjadi sadar bahwa memang saya orang berdosa yang membutuhkan Tuhan Yesus untuk menyelamatkan saya.
Malam itu Mas Gun memberikan tantangan: siapa yang mau menerima Tuhan Yesus masuk ke dalam hidup menjadi Juru Selamat pribadi. Saya tidak mengangkat tangan, namun untuk pertama kalinya, saya berdoa di dalam hati demikian: “Tuhan Yesus, saya ini orang berdosa. Tolong selamatkanlah saya”.
Cuma sependek itu doa saya. Namun saya menaikkannya dengan penuh kesadaran dan sepenuh hati saya. Dan saat itu juga, selesai saya berdoa, ada perasaan damai dan lega yang memenuhi hati saya. Dada saya rasanya sesak dengan kelegaan. Saya belum pernah merasakan kedamaian dan kelegaan seperti itu. Saya tahu, malam itu saya ditangkap oleh Tuhan, dan saya dilahirkan kembali menjadi anakNya.
Mulai Berjalan bersama Tuhan
Pulang dari PSK malam itu, saya merasa sangat lega. Malam itu saya tidur nyenyak. Sejak saat itu saya tidak pernah takut kepada setan atau kegelapan lagi. Saya bisa berjalan sendirian di tempat segelap apapun, dan tetap merasa damai. Saya tidak pernah punya masalah sulit tidur, dan yang paling penting, saya tidak lagi takut mati. Sebab saya tahu, ketika saya mati, saya tidak akan pergi ke neraka, tetapi saya akan disambut oleh Tuhan Yesus di dalam KerajaanNya.
Sejak hari itu, saya makin haus untuk mengerti firman Tuhan. Tahun 1989, saya mulai kuliah, dan saya mulai dilayani Mas Gun di dalam kelompoknya. Saya terus belajar dari beliau dalam segala hal: ibadah, ketaatan, keuangan, pelayanan, watak, pernikahan, membina anak, karir dan pekerjaan–semua bagian hidup saya dibangun Tuhan melalui pertolongan mas Gun. Beliau benar-benar bapak rohani saya: yang menolong saya untuk lahir baru, dan yang berperan paling besar dalam memelihara dan membangun hidup saya. Satu demi satu, dosa-dosa yang sudah mendarah daging itu mulai lepas dari hidup saya.
Saya terus mengikuti KPA seminggu sekali (kadang lebih) bersama mas Gun selama 11 tahun, sebab Maret 2000 saya harus pergi ke Newcastle untuk sekolah lagi. Sampai sekarangpun, mas Gun masih terus menolong saya. Dan saya tidak sabar menunggu waktu untuk pulang ke Solo, untuk ketemu dan belajar dan melayani bersama mas Gun lagi.
Saya belum sempurna. Dosa-dosa masa lalu saya masih sesekali muncul. Saya masih terus berjuang mengatasi watak saya yang buruk. Sampai sekarangpun masih ada bagian-bagian hidup yang terus membuat saya sedih dan menangis. Puji Tuhan, sebab Ia sangat mengasihi dan sabar kepada saya. Sekalipun saya bandel dan suka melawan, Ia tidak pernah putus asa untuk menolong saya. KesetiaanNya kepada saya adalah kekuatan yang membuat saya tidak menyerah di dalam hidup saya.
Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus (Filipi 1:16)
Sri Hastjarjo
Views: 7