Kesempatan Emas

Sampai sekarang, saya masih suka menonton film animasi. Salah satu film yang saya sukai adalah produksi Disney berjudul Hercules. Film ini berkisah tentang seorang anak muda yang ingin menjadi seorang hero (pahlawan), supaya bisa naik ke gunung Olympus, tempat tinggal para dewa Yunani.

Dalam satu adegan, setelah selesai menjalani training di pulau terpencil, Hercules pergi ke kota Thebes. Thebes adalah kota yang penuh dengan bencana dan persoalan. Hercules merasa ini adalah kesempatan emas baginya untuk menunjukkan kepahlawanannya. Namun, ketika ia memperkenalkan diri, penduduk kota Thebes justru mentertawakannya dan menolaknya. Hercules, dengan putus asa berkata: “Bagaimana aku bisa membuktikan bahwa aku seorang hero, kalau tidak pernah diberi kesempatan?”

Ada satu kisah kepahlawanan yang lain. Ada seorang anak muda bernama Daud. Ia sudah dipilih dan diurapi menjadi raja, namun belum ada kesempatan untuk “diorbitkan” agar namanya dikenal oleh rakyat Israel. Karena saat itu, raja Saul yang akan digantikannya masih berkuasa–walaupun sebenarnya sudah kehilangan legitimasi dan pengurapan dari Tuhan. Di mata manusia mungkin Saul masih menduduki posisi sebagai raja, namun di mata Tuhan ia sudah ditolak.

Suatu hari, dalam sebuah peperangan dengan bangsa Filistin, bangsa Israel ditantang untuk melakukan pertarungan satu lawan satu dengan Goliat, seorang raksasa yang punya pengalaman perang. Tak ada satupun tentara Israel, termasuk Saul yang berani maju. Sampai kemudian Daud yang maju untuk menghadapi Goliat. Ah, kita sudah mendengar cerita ini puluhan kali! Kita tahu akhir ceritanya, bukan?

***

Yang menarik perhatian saya dari kisah Daud vs Goliat adalah: mengapa Daud bisa sampai ke medan perang? Dia adalah penggembala domba yang masih remaja–sehingga belum terkena wajib militer. Kakak-kakaknya memang menjadi tentara dalam pasukan Saul, namun Daud sendiri masih belum cukup umur untuk maju berperang. Mengapa dia bisa berada on right place and on the right time–sehingga mendapat kesempatan emas untuk dikenal oleh bangsa Israel?

Isai berkata kepada Daud, anaknya: “Ambillah untuk kakak-kakakmu bertih gandum ini seefa dan roti yang sepuluh ini; bawalah cepat-cepat ke perkemahan, kepada kakak-kakakmu. Dan baiklah sampaikan keju yang sepuluh ini kepada kepala pasukan seribu. Tengoklah apakah kakak-kakakmu selamat dan bawalah pulang suatu tanda dari mereka (1 Samuel 17:17-18)

Satu-satunya alasan mengapa Daud bisa berada di medan perang adalah: karena dia sedang disuruh ayahnya untuk mengirim bekal makanan bagi kakak-kakaknya. Tidak ada yang istimewa dari tugas itu. Itu adalah tugas rumah tangga sehari-hari yang harus dilakukannya sebagai anak bungsu. Namun, kesediaannya untuk mengerjakan tugas yang sepele itu telah membuka pintu kesempatan baginya untuk tampil sebagai pahlawan, sebagai pembunuh raksasa, yang terkenal di seluruh Israel.

***

Keluhan yang diucapkan oleh Hercules di atas sering terdengar di antara kita. Kapan aku mendapat kesempatan untuk membuktikan bahwa aku juga bisa melayani, aku juga punya talenta, aku juga punya urapan, aku juga punya kuasa? Ketika kita merasa memiliki sesuatu yang hebat, maka hati kita penasaran untuk memamerkannya, untuk menunjukkannya kepada semua orang. Supaya orang tahu, bahwa kita bukan orang biasa-biasa, namun seseorang yang punya potensi besar bagi kemuliaan Tuhan.

Tidak hanya di gereja atau pelayanan, namun juga di dalam seluruh bidang kehidupan. Di lingkungan kantor, di antara teman-teman sekerja, di dalam organisasi apapun juga, juga di lingkungan RT dan perkumpulan PKK di kampung kita. Semua orang pengin mendapat kesempatan untuk tampil, untuk membuktikan kehebatannya, untuk menunjukkan kemampuannya.

Dan ketika kesempatan itu tidak diperoleh, kita menjadi panas hati dan kecewa. Kita merasa ditolak, tidak dihargai, dan tidak diberi tempat. Kemudian kita mulai memiliki hati yang penuh kritik kepada orang lain. Kita kemudian sibuk mencari-cari kesalahan orang lain yang mendapat kesempatan. Kita mulai membanding-bandingkan diri kita dengan mereka–dan selalu saja kita bisa menemukan kelemahan mereka, dan kelebihan kita sendiri. Dan ketika habis kesabaran kita untuk menunggu pintu kesempatan itu terbuka, maka kita pun pergi ke tempat lain yang kita pikir akan bisa lebih menghargai kita.

***

Saya pikir, persoalannya bukan pada ada kesempatan atau tidak. Namun, persoalannya ada pada definisi kita tentang apa yang disebut sebagai “kesempatan” itu. Kebanyakan kita mendefinisikan “kesempatan” sebagai sebuah peluang untuk tampil di muka umum, peluang untuk menunjukkan kemampuan kita sendiri kepada banyak orang, untuk membuat orang lain melihat bahwa kita memiliki potensi.

Kita juga mendefinisikan “kesempatan” itu sebagai jenis-jenis aktifitas tertentu yang kita pandang lebih “tinggi” daripada aktifitas yang lain. Ketika kesempatan untuk melayani itu hanya ada di bidang-bidang yang biasa-biasa, yang tidak istimewa/spektakuler, dan yang tidak akan dilihat orang, maka kita tidak memandangnya sebagai “kesempatan”. Kita punya kecenderungan untuk hanya ingin melakukan sesuatu yang “hebat”, yang akan bisa membuat orang lain mengakui kemampuan kita.

Namun, Tuhan memiliki definisi yang berbeda dari kita. “Engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar” (Matius 25:21). Tuhan selalu menilai seseorang dari kesetiaannya ketika melakukan hal-hal yang kecil dan sepele. Tuhan melihat kesungguhan seseorang ketika ia sedang mengerjakan perkara-perkata yang tidak dilihat oleh orang lain.

Kita menghargai orang berdasarkan besarnya pekerjaan yang dia lakukan. Tuhan menghargai seseorang dari besarnya kesetiaannya untuk hal-hal yang kecil. Bagi Tuhan, sangatlah mudah untuk membawa kita kepada suatu keadaan di mana kita bisa melakukan hal-hal yang besar. Yang dicariNya adalah: hati yang setia dan bisa dipercaya. Mas Gunawan, pembimbing kami di Solo, selalu berkata kapada kami: “Jangan berharap untuk memenangkan satu sekolah atau satu kota, kalau belum bisa membagikan Injil kepada satu orang.”

***

Lain kali, kalau kita kita mendapat kesempatan untuk mengantarkan bekal makan siang–atau pekerjaan yang “sepele” lainnya, janganlah kita bersungut-sungut, namun biarlah kita mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan senang hati. Sebab kita tidak pernah tahu, bisa saja di tengah jalan kita akan bertemu dengan Goliat … dan Tuhan akan memakai kita untuk mengalahkannya.

Views: 7

This entry was posted in Homili. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *